Keputusan Tak Pangkas Produksi Nikel Dikritik, Harga Terancam Anjlok
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk tidak memangkas produksi nikel pada 2025 dinilai akan memicu kelebihan pasokan (oversuplai) dan memperburuk tren penurunan harga nikel.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyebut Indonesia saat ini menyumbang 63 persen dari total produksi nikel dunia.
“Produksi nikel Indonesia sudah lebih dari 1,5 juta ton, tapi demand-nya hanya 1,5 juta ton,” ujarnya dalam rapat pleno RDPU di DPR, Rabu (22/1/2025).
Lonjakan IUP dan Produksi
Meidy menyebut Indonesia memiliki 395 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel yang kemungkinan akan terus bertambah.
Berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2025, produksi nikel diperkirakan mencapai 300 juta ton.
“IUP nikel tadi 395, dengan RKAB yang di-acc hampir 300 juta, padahal awalnya mau pangkas sampai 150 juta,” ujarnya.
Menurut Meidy, keputusan untuk tidak memangkas produksi nikel akan berdampak pada harga nikel, yang saat ini berada di angka 15.000 dolar AS per ton.
“Jika RKAB bisa dipotong 150 juta, ini bisa menyentuh 20.000 dolar AS per ton. Tapi hari ini hanya 15.000 dolar AS per ton,” tambahnya.
Kapasitas Smelter Meningkat
APNI mencatat ada 95 smelter di Indonesia, baik yang sudah beroperasi maupun masih dalam tahap konstruksi.
Dari jumlah tersebut, 49 smelter menggunakan teknologi Rotary Klin-Electric Furnace (RKEF) dan 6 smelter menggunakan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL).
“Produksi dari 49 plus 6 smelter itu sudah mencapai 232 juta ton bijih nikel. Kalau 95 smelter nanti selesai, apakah marketnya siap menyerap semua?” tanyanya.
Meidy memperingatkan tanpa pembatasan produksi, harga nikel kemungkinan besar akan terus merosot pada 2025.
“Enggak ada pembatasan, harga nikel turun lagi, pasti,” tegasnya.
Sebelumnya, Bloomberg melaporkan rencana Indonesia untuk menurunkan jumlah bijih nikel yang ditambang menjadi 150 juta ton pada 2025. Namun, Bahlil membantah rencana tersebut.
Ia menegaskan bahwa keputusan mengenai RKAB dibuat berdasarkan kebutuhan industri, keseimbangan pasar, dan dukungan kepada pengusaha lokal.
“Membuat RKAB itu kan berdasarkan kebutuhan, ya. Pemangkasan belum ada. Yang ada itu adalah menjaga keseimbangan antara permintaan perusahaan terhadap RKAB dan kapasitas industri, serta memperhatikan juga adalah pelaku pengusaha lokal,” kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (17/1/2025).
Bahlil memastikan pengaturan RKAB tetap memberikan ruang bagi industri besar sekaligus menjamin akses yang adil bagi pengusaha lokal.
sumber: bisnis.com